Germany’s Federal Administrative Court ruled on July 21 that the Verfassungsschutz — Germany’s domestic spy agency — had a right to spy on the left-wing party Die Linke.
Bodo Ramelow, Die Linke’s leader in the eastern state of Thuringia and others were appealing against the agency spying on them. The justification for the spying are claims Die Linke contained “anti-constitutional” elements because of its origins in the former East German state.
Die Linke was formed after 2005 by a merger between disaffected western Social Democratic Party members, left-wing academics and trade unionists, and the eastern-based Party of Democratic Socialism. The PDS was made up of members of the former East German ruling party.
Die Linke won almost 12% in the last national election, making it the fourth largest party in parliament. It has won seats in almost every state parliament. Polls consistently show it is the most popular party in eastern Germany and its social justice policies are making it increasingly popular in the west.
Die Linke is the only party with parliamentary representation to support the view of a large majority of the population by callings for German soldiers to leave Afghanistan.
Sunday, July 25, 2010
Thursday, July 8, 2010
Merkel embarrassed in presidential election
On June 30, the German parliament met to elect the country’s largely symbolic president. What should have been a fairly straightforward affair, however, may spell the beginning of the end for German Chancellor Angela Merkel.
The new election was made necessary by the resignation of Horst Köhler on May 31, after his comments suggesting German military deployments were commercially motivated caused a public outcry.
Köhler’s resignation came at a particularly bad time for Merkel, whose governing rightwing coalition has been struggling in recent opinion polls.
Support for Merkel’s Christian Democratic Union (CDU) has dropped to just 32 percent, while their free-marketeer coalition partners, the Free Democrats (FDP) – who had surged around 15 percent support at the federal election in September last year – have dropped to barely 4 percent, the July 4 Angus Reid Global Monitor reported.
Popular opposition and protests continue to build against Merkel’s austerity measures, the ongoing war in Afghanistan and the economic bail-out of Greece as German standards of living continue to decline.
Monday, July 5, 2010
Memperjuangkan Sepakbola: Apakah `permainan sedunia' ini permainan rakyat?
Oleh Duroyan Fertl
5 Juli 2010 -- Berdikari -- Piala Dunia FIFA 2010 di Afrika Selatan telah memulai putaran final 16 besarnya pada 26 Juni. Ia hadir di tengah dengungan terompet vuvuzela yang tak pernah surut, kekalahan tim-tim besar seperti Italia dan Perancis, dan aksi-aksi protes di jalanan oleh warga setempat yang marah atas dana 40 miliar rand yang dibelanjakan pemerintah untuk membiayai acara yang dikelola swasta ini. Sementara itu, kaum miskin Afrika Selatan menderita karena perumahan dan akses layanan mendasar yang di bawah standar.
Sepakbola adalah “permainan dunia” yang dimainkan oleh jutaan orang di seluruh dunia dan ditonton oleh ratusan juta lainnya. Tapi benarkah itu “permainan rakyat”?
Sepakbola itu sendiri seringkali merupakan suatu pertunjukan menegangkan yang menampilkan kepiawaian manusia. Suatu pertandingan sepakbola yang bermutu tinggi dapat dibandingkan dengan seni. Maka tak heran ia begitu populer di seluruh dunia.
Namun permainan itu, tak dapat dipungkiri, disertai serangkaian aspek buruk. Persoalan hooliganisme sepakbola, terutama di Eropa, sudah dikenal baik. Banyak kelab-kelab dan kelompok penggemarnya menjadi lahan subur bagi perkembangan kelompok neo-Nazi dan ekstrim sayap-kanan, seperti English Defence League.
Di tingkat interasional, dukungan terhadap tim nasional mudah sekali diekspresikan menjadi rasisme terang-terangan.
Sebuah “kostum pendukung” Belanda yang dirancang untuk Piala Dunia di Afrika Selatan menggambarkan seorang pendukung Belanda menduduki pundak seorang warga Afrika Selatan berkulit hitam. Iklan yang menyertainya memberikan instruksi untuk “menyetir” kaum “Afrika” dengan menarik-narik kupingnya.
5 Juli 2010 -- Berdikari -- Piala Dunia FIFA 2010 di Afrika Selatan telah memulai putaran final 16 besarnya pada 26 Juni. Ia hadir di tengah dengungan terompet vuvuzela yang tak pernah surut, kekalahan tim-tim besar seperti Italia dan Perancis, dan aksi-aksi protes di jalanan oleh warga setempat yang marah atas dana 40 miliar rand yang dibelanjakan pemerintah untuk membiayai acara yang dikelola swasta ini. Sementara itu, kaum miskin Afrika Selatan menderita karena perumahan dan akses layanan mendasar yang di bawah standar.
Sepakbola adalah “permainan dunia” yang dimainkan oleh jutaan orang di seluruh dunia dan ditonton oleh ratusan juta lainnya. Tapi benarkah itu “permainan rakyat”?
Sepakbola itu sendiri seringkali merupakan suatu pertunjukan menegangkan yang menampilkan kepiawaian manusia. Suatu pertandingan sepakbola yang bermutu tinggi dapat dibandingkan dengan seni. Maka tak heran ia begitu populer di seluruh dunia.
Namun permainan itu, tak dapat dipungkiri, disertai serangkaian aspek buruk. Persoalan hooliganisme sepakbola, terutama di Eropa, sudah dikenal baik. Banyak kelab-kelab dan kelompok penggemarnya menjadi lahan subur bagi perkembangan kelompok neo-Nazi dan ekstrim sayap-kanan, seperti English Defence League.
Di tingkat interasional, dukungan terhadap tim nasional mudah sekali diekspresikan menjadi rasisme terang-terangan.
Sebuah “kostum pendukung” Belanda yang dirancang untuk Piala Dunia di Afrika Selatan menggambarkan seorang pendukung Belanda menduduki pundak seorang warga Afrika Selatan berkulit hitam. Iklan yang menyertainya memberikan instruksi untuk “menyetir” kaum “Afrika” dengan menarik-narik kupingnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)