Oleh Duroyan Fertl
5 Juli 2010 -- Berdikari -- Piala Dunia FIFA 2010 di Afrika Selatan telah memulai putaran final
16 besarnya pada 26 Juni. Ia hadir di tengah dengungan terompet vuvuzela
yang tak pernah surut, kekalahan tim-tim besar seperti Italia dan
Perancis, dan aksi-aksi protes di jalanan oleh warga setempat yang marah
atas dana 40 miliar rand yang dibelanjakan pemerintah untuk membiayai
acara yang dikelola swasta ini. Sementara itu, kaum miskin Afrika
Selatan menderita karena perumahan dan akses layanan mendasar yang di
bawah standar.
Sepakbola adalah “permainan dunia” yang dimainkan oleh jutaan orang
di seluruh dunia dan ditonton oleh ratusan juta lainnya. Tapi benarkah
itu “permainan rakyat”?
Sepakbola itu sendiri seringkali merupakan suatu pertunjukan
menegangkan yang menampilkan kepiawaian manusia. Suatu pertandingan
sepakbola yang bermutu tinggi dapat dibandingkan dengan seni. Maka tak
heran ia begitu populer di seluruh dunia.
Namun permainan itu, tak dapat dipungkiri, disertai serangkaian aspek
buruk. Persoalan hooliganisme sepakbola, terutama di Eropa, sudah
dikenal baik. Banyak kelab-kelab dan kelompok penggemarnya menjadi lahan
subur bagi perkembangan kelompok neo-Nazi dan ekstrim sayap-kanan,
seperti English Defence League.
Di tingkat interasional, dukungan terhadap tim nasional mudah sekali
diekspresikan menjadi rasisme terang-terangan.
Sebuah “kostum pendukung” Belanda yang dirancang untuk Piala Dunia di
Afrika Selatan menggambarkan seorang pendukung Belanda menduduki pundak
seorang warga Afrika Selatan berkulit hitam. Iklan yang menyertainya
memberikan instruksi untuk “menyetir” kaum “Afrika” dengan menarik-narik
kupingnya.
Banyak pemain dalam tim nasional Perancis yang keturunan Afrika dan
Arab. Ketika Perancis memenangkan Piala Dunia 1998, keberagaman ini
dirayakan secara luas sebagai bukti sehatnya multikulturalisme dan
tolerannya masyarakat di Perancis.
Namun, ketika Perancis berkemas pulang dalam putaran pertama Piala
Dunia 2010 setelah konflik antara pemain dan pelatih, terdapat
suara-suara rasisme terselubung. Tajuk-tajuk utama di Perancis
menyatakan para anggota tim bersikap “tidak-Perancis” karena latar
belakang etnis mereka dan karena dibesarkan di pinggiran kota Paris yang
sebagian besar kaum imigran, miskin, serta menjadi tempat aksi-aksi
protes yang diwarnai kekerasan beberapa tahun lalu.
Dominasi korporasi
Dominasi korporasi dalam olah raga juga dapat memberikan dampak
negatif. Pertumbuhan pesat utang kelab-kelab sepakbola Inggris sejak
Liga Utama didirikan pada 1992 – diperparah oleh krisis keuangan global –
telah menghancurkan sejumlah kelab yang ada. Bahkan dua kelab terbesar
di Inggris – Liverpool FC dan Manchester United – terjerat utang yang
besar dan membahayakan.
Afrika Selatan telah menyerahkan sebagian sistem hukumnya kepada FIFA
– badan pengurus sepakbola sedunia – selama berlangsungnya Piala Dunia.
“Pengadilan Piala Dunia” secara khusus ditugaskan untuk memburu pemalsu
barang dagangan dan penjahat kecil-kecilan di acara tersebut.
Namun hanya sedikit tuntutan hukum yang dilancarkan dan banyak yang
dipertanyakan keabsahannya. Di antara yang tertuduh adalah dua perempuan
Belanda yang ditahan karena mengenakan pakaian yang dirancang oleh
sebuah perusahaan yang bukan sponsor resmi Piala Dunia.
Pekerja di Afrika Selatan juga mencoba menggunakan Piala Dunia untuk
mengangkat persoalan mereka. Setelah pertandingan antara Jerman dan
Australia, staff lapngann menggelar aksi protes menuntut bayaran dan
hal-hal lain yang dijanjikan. Aksi mereka diserang oleh polisi kerusuhan
dengan kekerasan, gas air mata, dan pentungan.
Menjelang Piala Dunia, pemerintah Afrika Selatan membersihkan jalanan
dan pemukiman kumuh untuk “membersihkan” citra negeri tersebut bagi
media dan wisatawan. Puluhan ribu kaum miskin Afrika Selatan dipaksa
bertempat tinggal di penampungan sementara.
Dalam berbagai hal, sepakbola juga meneruskan hubungn kolonial lama.
Di penjuru Afrika, ratusan ribu pemuda bermimpi keluar dari kemiskinan
dengan cara dipilih untuk bergabung dengan suatu kelab kaya dari Eropa.
Segelintir saja berhasil, tapi ribuan keluarga telah tertipu karena
memberikan simpanannya kepada para penipu yang menjanjikan dunia
tersebut.
Roti dan sirkus?
Di hadapan ini semua, adalah mudah untuk menulis bahwa sepakbola tak
lain dari “roti dan sirkus” jaman modern yang mengalihkan rakyat dari
perjuangan untuk masyarakat yang lebih baik.
Pandangan ini mengabaikan kenyataan bahwa rakyat selalu mencari
hiburan melalui berbagai macam bentuk budaya. Hak atas inilah yang
terancam oleh sisi buruk sepakbola, bukan permainan itu sendiri yang
perlu dikecam.
Mengecam permainan itu berarti mengabikan sisi lainnya yang progresif
dan kurang diketahui orang. Tim-tim seperti kelab Jerman FC St Pauli
dan kelab Inggris Aston Villa, contohnya, memiliki kelompok penggemar
anti-fasis dan anti-rasis yang terorganisir baik dan menggelar protes
secara reguler untuk melawan rasisme dan kelompok-kelompok kanan-jauh.
Kelab Spanyol FC Barcelona dijalankan sebagai koperasi publik, dan
secara reguler memberikan uang kepada UNICEF untuk membeli ijin
penggunaan logo lembaga tersebut di kostumnya – bertolak belakang dengan
sebagian besar kesepakatan sponsor yang ada. Aston Villa melakukan hal
yang sama dengan rumah sakit anak Acorns.
Ribuan pendukung Liverpool FC yang marah atas ketidakbecusan
pengelolaan kelab mereka, telah mendirikan “serikat pendukung” yang
terdaftar dan bertujuan menempatkan kelab tersebut di bawah kepemilikan
penggemarnya. Serikat tersebut – bernama Spirit of Shankly (Semangat
Shankly) – memiliki website yang memuat kutipan pelatih legendaris
Liverpool, Bill Shankly: “Sosialisme yang kuyakini adalah semua
orang bekerja untuk sesamanya, semua orang mendapatkan bagian dari
hasil. Itulah pandanganku tentang sepakbola, pandanganku tentang dunia.”
Pengaruh sayap-kiri
Pengaruh sayap kiri di sepakbola bukan hal baru. Pada tahun 1930an,
kelab Jerman Unterhaching - yang berbasiskan kelas pekerja
bordir di Munchen – dibubarkan oleh Nazi karena “secara politik tak
dapat diandalkan”.
Sepakbola juga memainkan peran penting dalam perjuangan pembebasan
nasional dan anti-rasis, terutama di Afrika.
Dalam perang anti-kolonial melawan Perancis, Front Pembebasan Nasional
Aljazair (FLN) membentuk tim nasional bawah tanah dari beberapa pemain
Aljazair terbaik di liga Perancis. FIFA menolak untuk mengakuinya, tapi
tim tersebut merupakan kemenangan propaganda besar-besaran bagi
perjuangan pembebasan ALjazair. Tim itu memenangkan 65 dari 91
pertandingn melawan tim dari Afrika, Asia dan blok Soviet antara 1958
dan 1962, ketika Aljazair memenangkan kemerdekaannya.
Dalam Piala Dunia 2010, tim Aljazair mempersiapkan diri untuk
pertandingan melawan Inggris dengan menyaksikan film klasik tentang
perjuangan anti-kolonial, The Battle of Algiers (Pertempuran
Aljazair). Sebagaimana diketahui kemudian, ini tidak menghasilkan
kemenangan.
Sepakbola juga memainkan peran vital dalam perjuangan melawan
apartheid di Afrika Selatan. Aktivis anti-apartheid yang dipenjara di
Pulau Robben yang tersohor menggunakan permainan ini sebagai cara
mempertahankan organisasi politik dan mengatasi perpecahan internal.
Pada 2005, kelab Italia Inter Milan – yang pernah diasosiasikan
dengan politik sayap kanan – menerima tantangan untuk memainkan
pertandingan solidaritas dengan pemberontak sayap-kiri Zapatista dari
Meksiko. Kelab ini juga memberikan dana untuk proyek olahraga,
penyediaan air dan kesehatan di wilayah Chiapas di Meksiko, yang
dikuasai oleh Zapaistas.
Menjelang Piala Dunia, tim sepakbola Argentina difoto dengan memegang
spanduk yang menyerukan agar Ibu Plaza de Mayo – para ibu dari 30.000
pemuda dan pemudi yang “dihilangkan” di bawah kediktatoran Argentina
antara 1976-1983 – dianugerahkan Penghargaan Nobel Perdamaian. Pelatih
Diego Maradona merupakan pendukung vokal pemerintah revolusioner Kuba
dan Venezuela.
Seperti halnya kelab, tim nasional tidak lagi homogen seperti dulu
karena dampak imigrasi. Tim-tim nasional Inggris, Belanda, Swiss
semuanya menyertakan pemain dari beragam latar belakang. Dalam tim
Jerman, seorang pemain dilahirkan di Brasil, dua penyerang kunci dari
Polandia dan seorang lainnya keturunan Turki. Kakak-beradik Boateng,
Gerome dan Kevin-Prince, memegang kewarganegaraan ganda Jerman-Ghana,
tapi dalam Piala Dunia ini mereka bermain dalam dua tim berbeda – satu
untuk Jerman, sisanya untuk Ghana.
Sepakbola – dan semua olahraga lainnya – merupakan medan pertempuran
untuk keadilan sosial seperti ajang lainnya.
Ketika menonton Piala Dunia, ingatlah warga miskin kulit hitam di
kota-kota Afrika Selatan, staf lapangan yang memungkinkan berjalannya
pertandingan, dan buruh murah yang memproduksi bola yang bodoh itu. Dan
ingatlah, sepakbola lebih dari sekedar bendera, lagu dan piala.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.